Antara aku dan Labi-labi

Antara aku dan Labi-labi

Banda-Aceh-Labi-Labi-001
Inilah ceritaku, cerita antara aku, kau dan labi-labi

Taap… Kuturunkan kakiku dari bus yang telah kutumpangi selama semalam suntuk. Kuhirup udara pagi yang tak cukup segar di terminal itu. suasana riuh nan ramai membuatku tak nyaman. Hari ini adalah kali pertamanya aku menginjak kota Banda Aceh. Meskipun aku berdarah Aceh, namun sejak lama aku dan keluargaku tinggal di satu kota di Sumatera Utara, Pangkalan Susu tepatnya. aku berada di kota ini untuk melanjutkan pendidikanku di universitas terkemuka di Banda Aceh, tepatnya Universitas Syiah Kuala, yang juga dikenal dengan sebutan “Jantong Hatee Rakyat Aceh”.

“Paman, setelah ini kita ke mana?” Tanyaku pada paman yang menenteng tas besar hitam di tangannya. Paman tak menjawab. Aku hanya mengikutinya terus dari belakang. Hingga akhirnya kami duduk di sebuah halte, di pinggir jalan raya. Sedari tadi tak ada angkot yang berlalu lalang di jalan raya. Tidak seperti di kotaku yang setiap lima atau sepuluh menit sekali, angkot selalu datang silih berganti.

“Bang, miseu tanyo neuk jak u Darussalam, jak ngoen pue? (Jika kita mau pergi ke Darussalam, naik apa?)” Tanya Paman dalam bahasa Aceh pada salah seorang penjual minum asongan.

Dalam bahasa Aceh pula, sang pedagang asongan itu menjelaskan pada kami. Karena letak daerah yang lumayan jauh, Kami harus naik kendaraan yang menuju ke sana. Banyak tawaran kendaraan yang menjadi pilihan, mulai dari ojek, taxi hingga becak dengan berbagai variasi harga tentunya. Namun ada satu yang menarik perhatianku lebih besar, “Labi-labi”. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata itu? Pasti, hewan yang bergerak lambat yang masih satu keluarga dengan si cangkang keras kura-kura. Begitupula denganku. Aku tak begitu paham yang di maksud oleh pembicaraan mereka. Setelah kuselidiki, ternyata labi-labi adalah nama salah satu transportasi umum yang ada di kota Serambi Mekkah ini.

Lama kami menunggu transportasi unik—Labi-labi—itu. Lalu, berhentilah sebuah kendaraan roda empat di depan kami. Sang sopir menanyakan kemana kami akan pergi. Dan ternyata itulah yang disebut dengan labi-labi. Warna hitam pekat menyelimuti body-nya yang sekilas mirip mobil truk pengiriman barang namun berukuran lebih kecil dan mungil. Paman langsung naik di sebelah sang sopir untuk memudahkan berkomunikasi dengan sopir. Sementara aku disuruhnya duduk di belakang. Aku diam tak bergerak dari posisiku. Hingga akhirnya paman bertanya, “Kenapa tidak naik?”

Akupun mendekat ke arah paman seraya berbisik, “Paman, naiknya dari mana? Aku tidak tahu.” Paman tertawa kecil seraya membuka pintu labi-labi dan turun. Coba kamu ke belakang sana, pintunya ada di belakang.” Seru Paman yang masih tergelitik.

Aku segera menuju ke belakang labi-labi. “Sungguh transportasi khas Aceh yang unik, yang hanya di sini aku bisa menemukannya.” Gumamku. Aku langsung naik melalui pintu yang terbuka lebar itu. tak ada akses untuk melihat ke arah depan jalan karena seluruhnya tertutup oleh dinding penghalang. Bahkan sang sopirpun tak terlihat olehku. Kulirik satu persatu ke arah penumpang yang melemparkan senyum ramah padaku. Semuanya mengenakan hijab, kecuali penumpang lelaki. Hehe. Ya begitulah, salah satu kota istimewa bersyariat islam yang menyimpan banyak keindahan dan keunikan. Belum habis aku mengagumi keunikan labi-labi ini, kunikmati setiap sudut kota dengan bangunan-bangunan megah yang tingginya tak melebihi menara masjid raya.

Angin sejuk berhawa panas semakin membuatku gerah. Matahari tak diragukan lagi derajat kepanasannya siang itu. Tiba-tiba labi-labi itu berhenti. Aku tak menyadari bahwa labi-labi yang kunaiki itu berhenti karena Paman telah turun setelah kulihat Paman meneriakiku ketika labi-labi yang kian menjauh. “Lhaa Paman, Paman. Aku juga turun. Aduh bagaimana ini?” Ujarku panik. “Bang pinggir” Teriakku pada sang sopir. Hal itu lumrah dilakukan di kotaku saat seseorang ingin turun dari angkot setelah sampai di tempat yang dituju. Berulang kali aku berteriak “Bang pinggir”, namun sang sopir tetap saja melaju kencang.

Tingkahku mendatangkan gelak tawa bagi para penumpang. Para penumpang yang kasian melihat wajahku yang semakin gelisah, menyuruhku menekan bel yang ada di atas pintu keluar. Akupun langsung menekan bel itu berkali-kali dengan eksprei kesal. Ciiiitttt…. sang sopir mengerem mendadak dan membuat seluruh penumpang terpelanting ke depan. Aku segera turun dari labi-labi itu dan mengucapkan terimakasih pada penumpang-penumpang itu. mereka hanya meleparkan senyumnya yang terkembang lebar. Lalu aku kembali menjumpai paman yang sudah lebih dulu turun seratus meter di belakangku. Sungguh pengalaman pertama yang tak terlupakan bersama “Si labi-labi”.

karya: Riky ramadhani

4 tanggapan untuk “Antara aku dan Labi-labi

Tinggalkan komentar